Tuesday 5 April 2011

Duhai Pentaksir

Pentafsir, sebenarnya telah lama kucari
suaramu yang sarat
ke mana jatuhnya gema itu?

Di manakah tempat istirahat
setelah pengembaraan yang penat
Di manakah telah kaurakamkan
pertemuan matahari, rimba dan lautan?

Senja ini menemuiku
dengan lusuh catatanmu
angin sedang cuba mengoyak-ngoyakkan lembar-lembar buku
sedang aku belum bertemu
surat yang kau tuliskan padaku.

Telah hilangkah ia
atau kau tidak pernah menulisnya
ah, aku tidak bisa tidur dan melupakan
racun keresahan telah membunuh lenaku
sejak kudahagai penawar dalam lautan nota-notamu
kiranya terdampar dalam angin yang ragu
yang tidak mengenal arah tiupannya
angin tanpa sabar yang telah melunturkan
kehijauan dalam keriangan masa kecilku.


Pentafsir, musim telah terlalu tua
kaca jendela menjadi kelabu
dan aku telah terlalu lesu
untuk menari bersama bayang-bayangmu
senja pun semakin larut
lembar-lembar jadi semakin kuning
Apakah aku harus mengebumikan buku-buku ini
di samping pusaramu yang sepi
Hentikan ejekanmu
biar kupecahkan kaca ini
melihat keluar. Lalu mengenal
rumpun-rumpun yang redup
adalah pengakuanmu, Tuhanku!
yang menjernihkan mataku

No comments:

Post a Comment